Selasa, Maret 25, 2008

Ke Negeri Serumpun Sebalai..

21 maret 2008, berangkat juga ke Pangkalpinang Bangka Belitung..nggak pernah kepikiran sebelumnya untuk naik pesawat bersama "Pawang" saya, memberikan cincin baru diatas ketinggian 32 ribu kaki, bertemu calon mertua dan membicarakan masa depan..hehe! Tapi setidaknya, kaki sudah melangkah lebih jauh...tujuan harus ditetapkan..dan penghulu harus dijemput..haha..

Di sana nggak banyak yang saya "snap"...mungkin terlalu terpesona dengan daerah penghasil Lada Putih terbesar di dunia itu...Hmmm, pasti ada yang kedua kali untuk terbang kesana lagi...


Sayap Burung Besi
@Lion Boeing 737 400


Menunggu, Tak Berayun
@Tanjung Pesona Beach


Asyik Di Tepian
@Tanjung Pesona Beach


Ini "Pawang" saya
@Wings MD-82

Rabu, Maret 19, 2008

Port Of Tanjung Perak

18 Maret, bersama kawan-kawan Suara Surabaya Media, akhirnya bisa "blusukan" ke PT. Terminal Peti Kemas Surabaya di Port Of Tanjung Perak Surabaya. Kawasan ini cukup steril, rompi warna hijau pupus (yang nggak modis) plus helm proyek warna oranye..jadi seragam wajib, dan cukup membuat penampilan jadi nyolok, dan lil' bit norak.

Tawaran untuk naik ke Container Crane (CC) IMSA tidak saya lewatkan...lumayan...229 feet berhasil bikin merinding kawan saya (Wepe, bukan nama sebenarnya) apalagi salah satu CC disini pernah menghilangkan 1 nyawa pekerjanya 2003 lalu...K.O dihantam Badai Fiona.



Pengikat Raksasa Laut
@Terminal Peti Kemas Surabaya


229 feet
@ Container Crane 9

Ujung Pangkalan
@Terminal Peti Kemas Surabaya


Siap!!!
@Terminal Peti Kemas Surabaya

Nomer 2
@Terminal Peti Kemas Surabaya

Selasa, Maret 18, 2008

Malang berlanjut...

Lanjut lagi belajar motret di Malang. Kali ini dikawal "Pawang" saya, jalan-jalan ke Balai Kota dan Jembatan penyebrangan Kayu tangan sambil nyoba tripod warisan emak. Meski oldschool, tripodnya lumayan membantu untuk meredam getaran.


Balai Kota


Gereja Malam
@Kayutangan Malang

Kacang Berasap
@Kayutangan Malang

Keranjang Telur

Rabu, Maret 12, 2008

Candid....

Bagian seru waktu belajar motret adalah coba-coba candid..yah, berhubung masih belajar..kadang masih ragu waktu ambil moment.


Eh, Bang Haji senyum...
@Surabaya Zoo, 7 Maret 2008


Hunny, don't eat too much..
@Surabaya Zoo, 7 Maret 2008


Konsentrasi...
@Kayutangan Malang, 9 Maret 2008

Ayo ke Bonbin...

Saya berhasil menghipnotis si Maya untuk ikut ke Bonbin. Jadi pemandu, dan sedikit jadi model gratisan. Bonbin yang sekarang memang tidak se hebat waktu saya masih SD. Sekarang tambah terkesan kumuh, hewannya juga tambah tua (yaaa iyaaalaaah nyet). Wis gak papa..kata Mas Totok SuaraSurabaya.net "kalo mau belajar motret, ke Bonbin aja. Banyak obyek, binatang, tumbuhan, orang..".


Batik Kulit
@Surabaya Zoo, 7 Maret 2008


Mematung...
@Surabaya Zoo, 7 Maret 2008


Silat Lidah
@Surabaya Zoo, 7 Maret 2008


Pasti Bukan Binatang Biasa
@Surabaya Zoo, 7 Maret 2008


Dilarang memberi makanan? Tapi Beruangnya kelaparan tuh...
@Surabaya Zoo, 7 Maret 2008

Sabtu, Maret 08, 2008

Foto Jurnalistik, Gabungan Gambar dan Kata

BISAKAH Anda membayangkan halaman koran yang tanpa foto satu pun ? Memang seakan sudah menjadi tradisi bahwa foto harus ada di koran terutama di halaman pertamanya. Selain untuk mempercantik perwajahan, foto adalah sebuah bentuk berita tersendiri.

Berita tulis dan berita foto punya pijakan masing-masing dan bisa saling melengkapi. Berita tulis memberikan deskripsi verbal sementara foto memberikan deskripsi visual. Sebagai gambaran, untuk menceriterakan besarnya pengangguran dalam bentuk angka-angka, jelas berita tulis lebih tepat untuk dipakai. Tetapi untuk memberitakan seperti apa indahnya sebuah tempat atau secantik apa wajah seorang bintang sinetron, jelas foto yang lebih bisa berbicara daripada tulisan.

Walau begitu, foto jurnalistik usianya jauh lebih muda daripada jurnalistik tulis. Huruf sudah dikenal manusia ribuan tahun yang lalu sementara usia fotografi sendiri belum sampai 200 tahun. Di awal abad belasan, di Inggris sudah dikenal surat kabar. Tapi fotografi baru masuk surat kabar pada akhir abad 19.

Persoalan mengapa foto jurnalistik tertinggal dari jurnalistik tulis semata karena masalah teknologi. Setelah fotografi ditemukan pada pertengahan abad ke-19, teknologi cetak belum bisa membawa foto ke Koran. Yang terjadi adalah, foto sebuah kejadian dijadikan berita dengan cara digambar ulang ke sketsa. Sketsa inilah yang lalu dibawa ke mesin cetak. Surat kabar pertama yang memuat gambar sebagai berita adalah The Daily Graphic pada 16 April 1877. Gambar berita pertama itu tentang sebuah peristiwa kebakaran.

Sejalan dengan kemajuan teknologi cetak, akhirnya foto pun bias ditransfer ke media cetak massal. Foto pertama di surat kabar adalah foto tambang pengeboran minyak Shantytown yang muncul di surat kabar New York Daily Graphic di Amerika Serikat tanggal 4 Maret 1880. Foto itu adalah karya Henry J Newton.

Demikianlah, foto jurnalistik memang masih seumur jagung dalam dunia jurnalistik secara umum. Namun perkembangannya sangatlah cepat bahkan kini kita sudah memasuki fotografi digital. Dengan fotografi digital, teori-teori fotografi lama masih banyak yang berlaku. Cara pemotretan dan teori pencahayaan tidaklah berubah. Yang berubah hanyalah prosesnya.

Kalau dulu film perlu dicuci terlebih dahulu, lalu diperlukan proses mencetak untuk mendapatkan gambarnya, kini begitu tombol rana selesai dipijit selesailah fotonya. Kini tidak diperlukan lagi jasa pos atau kurir untuk mengirimkan foto. Seorang fotojurnalis bisa mengirim fotonya lewat telepon genggam yang dibawanya ke medan perang.

Sebagai gambaran, pada Piala Dunia Sepakbola 2002 lalu, begitu sebuah gol terlihat tercipta dari siaran langsung televisi, lima menit kemudian foto gol itu dalam bentuk data digital sudah sampai di meja redaktur foto Koran-koran di seluruh dunia.

Percepatan pemakaian fotografi sebagai elemen berita dipacu besar-besaran oleh terbitnya Majalah LIFE di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Dunia foto jurnalistik bisa dikatakan berhutang besar kepada Wilson Hick yang menjadi redaktur foto pertama majalah itu selama 20 tahun lamanya. Hick adalah orang yang dianggap sebagai perintis kemajuan foto jurnalistik di dunia ini.

Wilson Hicks memang tidak pernah memotret tapi lewat ketajaman intuisinya dan kepemimpinannya lahirlah fotografer-fotografer kelas dunia seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa dan beberapa lagi. Dari Hicks pulalah lahir dasar-dasar foto jurnalistik.

Apa itu foto jurnalistik ?

Wilson Hicks menjawab dengan teorinya yang terkenal: Foto jurnalistik adalah gambar dan kata. ..

Kata dalam foto jurnalistik adalah teks yang menyertai sebuah foto. Kalau berita tulis dituntut untuk memenuhi kaidah 5W + 1 H (What Where When Who Why dan How), demikian pula foto jurnalistik. Karena tidak bisa keenam elemen itu ada dalam gambar sekaligus, teks foto diperlukan untuk melengkapinya. Seringkali, tanpa teks foto, sebuah foto jurnalistik menjadi tidak berguna sama sekali.

Sekali lagi, penggabungan dua media komunikasi visual dan verbal inilah yang disebut sebagai foto jurnalistik. Suatu ketika kita membaca sebuah surat kabar, yang pertama kita lakukan adalah melihat foto yang menarik, membaca teksnya, kemudian kembali melihat fotonya. Foto halaman pertama sebuah surat kabar adalah elemen terpenting untuk menjual edisi surat kabar di hari itu

.

Kelebihan Foto

Seperti sudah disinggung di atas, pada hakekatnya foto punya kelebihan dibandingkan media oral. Selain mudah diingat, foto juga punya efek lain yang timbul jika kita melihatnya. Foto bisa menimbulkan efek bayangan yang lain tergantung dari siapa, pekerjaan, pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan pengalaman dari orang yang melihatnya.

Karena itulah sebuah foto yang tidak menarik bagi seseorang pembaca, mungkin justru sangat menarik bagi pembaca lain. Sebagai contoh, foto olahraga American Football yang sangat bagus mungkin sangat menarik bagi pembaca di Amerika Serikat. Tapi bagi sebagian besar orang Indonesia, foto ini dilirik pun mungkin tidak.

Selain itu, untuk membuat foto yang menarik, kita harus membuat orang merasa mendapatkan sesuatu yang baru dari foto yang dilihatnya. Foto pembukaan sebuah seminar umumnya adalah foto orang memukul gong. Maka, di Indonesia, foto orang memukul gong sama sekali sudah tidak menarik lagi sebesar apa pun seminar yang menyertainya.

Karena itu, ada sebuah pedoman penting yang harus diingat saat membuat sebuah foto jurnalistik. Pedoman itu tertuang dalam ucapan fotografer Majalah LIFE Co Rentmeester yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970-an. Pada suatu ceramahnya, Rentmeester berkata, Buatlah foto yang lain daripada orang lain.

Petunjuk Rentmeester itu sangat tepat, apalagi untuk saat ini dimana foto jurnalis di Indonesia sudah sangatlah banyak. Pemilik kamera juga sudah tidak terhitung banyaknya. Kalau kita membuat foto yang sama dengan orang lain, sama sudut pengambilannya dan sama pula jenis lensanya, maka foto kita bisa dikatakan datar dan tidak menarik.

Perlu bagi seorang foto jurnalis untuk banyak-banyak melihat karya orang lain sebagai perbandingan dalam berkarya. Melihat karya orang lain, terutama melihat karya-karya yanag menang dalam sebuah lomba foto, kadang-kadang disalahartikan sebagai cari bahan untuk meniru. Padahal tidaklah demikian.

Melihat karya orang lain membuat kita punya gambaran kelas persaingan saat ini, juga punya gambaran umum akan baik buruk sebuah foto secara utuh. Pada orang yang berpikir terbatas, melihat karya orang lain memang membuatnya meniru angle dan gaya. Kreativitas sangat dituntut dalam kerja foto jurnalistik.

Untuk memberikan gambaran tentang kreativitas, mungkin kita masih ingat ceritera tentang pengeliling dunia Columbus yang ditantang untuk mendirikan sebuah telur ayam di atas meja. Saat Columbus memecahkan sedikit kulit telur untuk bisa membuatnya berdiri, orang lalu berkata, Ah, saya pun bisa.

Padahal, sebelum Columbus memecahkan telur itu, siapa pun mungkin tidak berpikir sampai ke situ. Demikian pula dalam fotografi. Kalau kita melihat sebuah angle foto yang bagus, kita mungkin berpikir, Apa sulitnya membuat yang begitu. . Padahal, kalau belum ada foto itu, belum tentu kita bisa membuat yang demikian.

Sementara itu, selain definisi yang diberikan Hicks di atas, dalam definisi yang lebih membumi , foto jurnalistik adalah foto apa pun yang pembuatan dan pemakaiannya melewati proses jurnalistik.

Peran Fotografi dalam Surat Kabar


Seorang pembaca bertanya, kalau pepatah yang mengatakan “Sebuah foto bernilai seperti seribu kata” itu benar, mengapa berita-berita di koran tidak diganti foto saja agar ringkas? Sebaliknya, ada pembaca lain yang bertanya, bolehkah sebuah surat kabar terbit tanpa sebuah foto pun?

Pertanyaan pembaca di atas amat menarik sebab selama ini telah terjadi banyak salah paham terhadap fungsi dan peran sebuah foto. Kalimat yang mengatakan bahwa sebuah foto senilai seribu kata itu sebenarnya cuma kiasan, namun sering disalahartikan orang karena dianggap sebagai “peribahasa” panutan. Dalam anggapan yang salah itu, sebuah foto dianggap selalu bisa menggantikan seribu kata-kata. Padahal tidak sama sekali.

Kenyataannya, foto memang mempunyai kelebihan dan keterbatasan tersendiri. Kalau berita secara umum harus mengandung 5W dan 1 H (what, who, when, where, why dan how, atau apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana), sebuah foto sulit mengandung keenam hal itu sekaligus.

Sebuah berita bisa mengandung 5W dan 1H karena ia terdiri dari banyak kalimat. Sedangkan sebuah foto sulit mencakup keenam hal itu dalam sebuah media dua dimensi yang dimilikinya. Seorang fotografer pemula, dengan dibuai “peribahasa” di atas sering memaksakan agar foto karyanya mengandung keenam hal sekaligus, sehingga justru menghasilkan karya yang “kusut”.

Sebuah foto tidak selalu bisa menerangkan di mana kejadian itu terjadi, siapa yang ada di dalam foto, mengapa adegan dalam foto terjadi, bagaimana adegan dalam foto terjadi atau kapan kejadian itu terjadi, kalau tidak dilengkapi teks foto. Ini kelemahan sebuah foto.

Sebaliknya, foto mempunyai suatu dimensi yang tidak bisa dimiliki kata-kata, yaitu dimensi visual. Untuk menceriterakan wajah seorang wanita yang cantik, walau berjuta kata telah Anda gunakan, belum tentu orang lain bisa segera membayangkan seperti apa wajah wanita yang Anda ceriterakan itu. Namun dengan selembar foto, selesailah sudah penjelasan Anda. Untuk hal ini, betul bahwa sebuah foto menggantikan seribu kata.

Jadi harus dibedakan antara keunggulan sebuah foto dari sisi visual dan keterbatasan foto dari segi kemampuan naratifnya. Dalam kaitannya dengan foto di surat kabar, foto sebagai berita tidaklah bisa berdiri sendiri. Ia selalu membutuhkan keterangan, atau minimal judul foto.

Dalam konteks foto sebagai berita, yaitu di surat kabar, sebuah foto bisa menjadi elemen utama. Di sini yang terjadi adalah tanpa sebuah foto, sebuah berita menjadi tidak berarti. Contoh untuk hal ini adalah berita pencarian koruptor oleh polisi. Kalau foto sang penjahat tidak ikut dimuat, berita itu relatif tidak ada gunanya sebab kekurangan informasi visual tentang bagaimana wajah penjahat yang dicari itu.

Sebuah foto dalam media cetak juga bisa menguatkan isi sebuah berita. Misalnya berita yang dimuat adalah berita tentang kebakaran pasar yang dahsyat. Dengan menambahkan sebuah foto suasana reruntuhan pasar, pembaca bisa ikut membayangkan betapa dahsyatnya api yang berkobar. Gambaran visual memberikan dimensi tertentu pada berita yang dibuat untuk memancing emosi orang.

Sebuah foto, dengan dilengkapi keterangan atau caption, juga bisa mandiri sebagai sebuah berita. Contoh foto berita misalnya pemberitahuan bahwa sebuah foto memenangkan lomba tertentu.

Namun sering juga sebuah foto merupakan “sekadar” elemen pemanis dalam tata letak surat kabar. Bisakah Anda membayangkan halaman pertama surat tanpa sebuah foto pun? Pasti membosankan sekali menatap halaman yang melulu berisi huruf. Di sini foto berfungsi sebagai elemen estetis yang kuran maupun formatnya direncanakan dengan baik.

Sebuah surat kabar boleh saja tidak memuat satu foto pun, namun pasti tidak ada penerbit yang mau berbuat demikian karena koran itu pasti tidak akan dibeli orang. Terus terang, foto sering kali merupakan elemen penarik minat orang pada halaman satu.

Seperti telah disinggung, teks dalam sebuah foto jurnalistik adalah elemen yang membuat sebuah foto lengkap. Maka, peran teks ini tidaklah main-main. Judul foto, yaitu bagian pertama dari teks yang biasanya dicetak tebal, haruslah memberikan gambaran akan isi foto. Judul hendaklah tidak mengulangi info yang telah dilihat oleh mata.

Sebagai contoh, misalnya ada foto orang sedang bersalaman. Janganlah judul foto itu Bersalaman . Ini nyinyir kata orang. Judul yang lebih baik mungkin adalah Pertemuan dua tokoh , atau Usai peresmian pabrik .


Pemikiran tentang Fotografi Suratkabar


Dalam persuratkabaran, fotografi bisa dibagi dalam dua pemikiran. Pemikiran pertama adalah pemikiran yang berhubungan lay out, dan pemikiran kedua adalah pemikiran yang berhubungan dengan kerja jurnalistik itu sendiri.

Pada perwajahan, redaktur fotografi tidak bisa terlalu kaku untuk memaksakan pemuatan sebuah foto. Harus ada tawar-menawar dengan redaktur artistik untuk mendapatkan penampilan halaman terbaik, terutama untuk halaman pertama. Dengan tidak mengubah isi dan makna sebuah foto, seorang redaktur foto sebaiknya punya beberapa stok foto dan format untuk sebuah kejadian. Memang ada kalanya sang redaktur foto hanya punya satu saja foto untuk sebuah kejadian. Maka untuk keadaan seperti ini, redaktur artistik tidak bisa menawar lagi tapi harus merancang layout dengan satu foto yang ada itu.

Sebagai contoh, sebuah adegan sebaiknya memiliki format vertikal dan format horisontalnya. Stok foto wajah orang sebaiknya punya tiga arah memandang: kiri, kanan dan lurus ke depan (netral). Foto wajah yang diletakkan di kanan halaman sebaiknya menghadapi ke kiri, demikian pula sebaliknya.

Redaktur fotografi juga harus punya stok foto yang tidak basi oleh waktu. Sewaktu-waktu redaktur artistik meminta foto, redaktur fotografi harus bisa menyediakannya. Sering terjadi ada perubahan layout secara mendadak, dan sebuah foto dibutuhkan untuk membuat penampilan sebuah halaman menjadi lebih baik. Sebuah stopper atau pengisi halaman tidaklah harus berita. Bisa juga foto.


Foto sebagai Laporan

Sesuai dengan namanya, foto jurnalistik adalah foto yang “melaporkan” sesuatu. Jurnal adalah laporan, dan jusrnalistik adalah “sesuatu yang bersifat laporan”. Maka, foto apa pun yang melaporkan sesuatu bisa disebut sebagai foto jurnalistik.

Sebuah foto piknik buatan tahun 1970-an yang biasa-biasa saja, dibuat orang sangat biasa, mendadak pada tahun 1999 menjadi foto jurnalistik yang sangat menggigit. Masalahnya, dalam foto itu terlihat Gus Dur sedang memangku anak-anaknya.

Atau juga sebuah foto orang menambang emas yang biasa-biasa saja, sempat menjadi foto mahal karena penambangan emas itu di Busang, tempat yang sempat menghebohkan dunia internasional itu.

Seorang rekan fotografer juga mendadak dicari-cari orang karena dialah satu-satunya orang yang punya foto Zarima saat masih menjadi fotomodel pemula.

Foto piknik di cerita di atas baru menjadi foto jurnalistik setelah dimuat di sebuah media cetak. Kalau dia tetap tersimpan di laci, ia tetaplah sebuah foto piknik biasa.

Kategori Foto Jurnalistik


Dalam sebuah media cetak, foto terbagi dalam beberapa kategori yang semuanya memang foto jurnalistik.:

Pertama, foto hard news. Foto jenis ini misalnya foto bentrokan mahasiswa dengan aparat di depan DPR, atau foto Gunung Merapi meletus, atau foto pengungsi Sampi mendarat di Surabaya. Foto jenis ini sebaiknya dimuat di media cetak sesegera mungkin. Seperti juga berita, foto jenis ini punya masa pakai terbatas, bisa basi. Biasanya, foto jenis inilah yang disebut Foto Jurnalistik pada lomba-lomba foto.

Foto hard news ini punya otoritas sendiri, punya kekuatan sama dengan tulisan hard news yang menyertainya.

Kategori kedua adalah foto headshot dan portrait, yaitu foto orang untuk menguatkan berita atau untuk memberitahu pembaca wajah seseorang. Dengan tulisan, kita tidak mungkin menggambarkan wajah orang walau dengan sejuta kata pun. Namun dengan sebuah foto, wajah orang mudah diberitakan.

Kategori ketiga adalah foto features. Jenis ini adalah foto yang tidak basi oleh waktu. Pemuatan foto features ini bisa kapan-kapan tergantung sang media. Foto tipe ini misalnya foto-foto human interest tentang perempuan tua yang membawa kayu bakar, tukang becak yang tidur pulas dll.

Kategori keempat adalah foto ilustrasi. Foto jenis ini adalah foto yang paling rendah kelasnya dalam foto jurnalistik. Kalau perlu, tidak jadi dimuat juga tidak apa-apa. Jenis ini misalnya foto orang main Play Station untuk melengkapi tulisan tentang wabah Play Station. Kalau saja sang foto tidak jadi dimuat, sang tulisan tetap bisa berdiri sendiri. Sebuah foto ilustrasi sering diganti gambar ilustrasi yang dibuat ilustrator.

Oleh Arbain Rambey
fotografer Harian KOMPAS
(Quoted from fotografer.net)

Sabtu, Maret 01, 2008

Review Canon PowerShot S5 IS


Juli 2007, Canon mengumumkan peluncuran dari 8.0 Megapixel PowerShot S5 IS dengan optical zoom 12x. Kamera baru ini memiliki teknologi Image Stabilizer (IS) optical, optic dengan tingkat profesional dan fungsi2 film yang lebih beraneka ragam serta memperkenalkan sejumlah fitur baru yang dirancang untuk meningkatkan kesuksesan fotografer.

Dengan adanya pemroses gambar DIGIC III dari Canon, Face Detection Technology meningkatkan fokus, pencahayaan dan flash untuk pemotretan orang sementara fitur Red-Eye Correction secara efektif memecahkan masalah red-eye pada foto yang dihasilkan. Jangkauan sensitivitas yang ditingkatkan menjadi ISO 80-1600 membantu sistem optical IS untuk performa lebih pada pencahayaan rendah.

Peningkatan lainnya termasuk LCD 2.5” dengan sudut yang bervariasi dengan resolusi yang lebih besar dan lebar, mode pemotretan tambahan dan perekaman video yang lebih panjang. Rancangan yang padat menggabungkan landasan yang menyediakan kompatibilitas dengan flash Canon EX Speedlite eksternal yang terpilih, menambahkannya kedalam daftar aksesoris yang meliputi pengubah lensa Wide, Tele dan Close-Up.

Fitur yang ada :
• Lensa 12x optical zoom dengan lensa Ultrasonix Motor (USM) dan
• Optical Image Stabilizer
• CCD 8.0 Megapixel
• DIGIC III dengan teknologi advanced Noise Reduction dan Face Detection untuk foto dan film
• Red-Eye Correction
• LCD 2.5” dengan resolusi tinggi dan sudut yang bervariasi
• Film VGA dengan durasi yang lama dan suara stereo serta Photo in Movie
• 22 mode pemotretan termasuk full manual control dan 0cm Super Macro
• High ISO 1600 dan Auto ISO Shift
• Cocok dengan lensa pengubah Wide/Tele/Close-up dan Canon EX Speedlite flash

Optik Presisi
Dengan mendapat keuntungan dari optik warisan Canon tahun 70-an, lensa 12x optical zoom (f/2.7 – f/3.5, 36-432 mm) menggunakan teknologi terdepan yang sama dengan yang dipakai pada lensa EF profesional :
Teknologi Optical Image Stabilizer (ID) mengurangi gambar yang buram sewaktu mengambil foto dan mengurangi getaran sewaktu merekam video. Lens-shift Canon tipe IS memberi fotografer kemungkinan untuk memotret pada kecepatan shutter sampai 3 stop lebih lambat tanpa peningkatan yang jelas dalam tingkat keburaman foto.
Ultra-Sonic Motor (USM) memberikan zoom yang cepat dan responsif dengan pengoperasian yang tenang, mengurangi resiko gangguan suara pada film dan atau sewaktu memotret subjek-subjek margasatwa.
Elemen lensa UD memastikan warna yang bagus dan kualitas tinggi.

Lensa pengubah Wide dan Tele yang optional menambahkan panjang fokal dari wide 27mm menjadi super-tele 648mm (sama seperti film 35mm). sebuah mode Super Macro dengan jarak pemotretan 0cm dan lensa Close-up 500D (58mm) optional memberikan anda fotografi macro yang lebih detail. Safety Zoom membiarkan pengguna untuk memanjangkan jangkauan zoom kamera tanpa interpolasi yang mempengaruhi kualitas foto – foto bisa diambil sampai dengan 24x zoom dengan resolusi yang cukup untuk cetakan postcard (10x15 cm) dengan kualitas tinggi. Para fotografer juga bisa mengaktifkan fitur Digital Tele-Converter3 untuk jangkauan telefoto tambahan (1.6x atau 2.0x) pada tiap kali potret, tanpa pengurangan pada aperture yang biasa disebabkan oleh optical teleconverter.

Teknologi baru untuk foto yang lebih bagus
Prosesor Canon DIGIC III memperkenalkan beberapa fitur baru yang dibuat untuk menghasilkan foto-foto yang lebih bagus dengan cara yang lebih mudah. Face Detection AF/AE/FE secara otomatis mendeteksi sampai sembilan wajah dalam sebuah scene dan mengoptimalkan fokus, exposure dan flash secara tepat. Sistem tersebut bekerja secara tepat dengan kelompok yang besar dan sewaktu subjek jauh atau bergerak dalam frame. Berbeda dengan PowerShot S5 IS, Face Detection AF/AE juga bisa diaktivasi sewaktu merekam film, dengan fokus dan exposure secara berkesinambungan diatur untuk subjek yang bergerak. Karena teknologi itu berbasis hardware, dia bekerja pada kecepatan yang sama seperti AiAF standard Canon.

Sama seperti Red-Eye Reduction yang berbasis flash sewaktu pemotretan, PowerShot S5 IS memiliki Red-Eye Correction untuk memotret foto, mengurangi keperluan untuk pemrosesan setelah pemotretan pada komputer. Sewaktu diaktifkan pada mode pemutaran, Red-Eye Correction menggunakan Face Detection Technology untuk menganalisa foto yang terpilih dan menghilangkan semua red-eye yang ditemukannya. Pengguna juga bisa menghilangkan red-eye secara manual.

Kepandaian fotografik
Menjawab keluhan para pengguna, LCD dengan sudut yang bervariasi telah diperbesar dari 2.0” menjadi 2.5” sementara resolusi layar menjadi lebih tajam pada 207k pixel. LCD tersebut bisa diputar ke arah manapun untuk memotret pada posisi yang aneh – seperti pada ketinggian pinggang atau dengan kamera dipegang diatas kepala. Pemotretan dengan pencahayaan rendah ditingkatkan pada pengaturan ISO tinggi (sampai dengan ISO 1600) dipastikan melalui kombinasi dari optical Image Stabilizer dan Noise Reduction Technology dari DIGIC III yang lebih canggih. Fungsi Auto ISO Shift yang baru mencegah keburaman dengan memberikan pengguna pilihan untuk meningkatkan pengaturan ISO – dan kecepatan shutter juga – dengan sebuah penekanan tombol setiap kali kamera meramalkan adanya getaran kamera.

Sewaktu anda menginginkan fotografi flash, hot shoe yang baru memberikan pengguna pilihan untuk menggunakan flash EX Speedlite eksternal atau pengaturan flash slave untuk mendapatkan kealamian atau efek cahaya yang dramatis.

Fungsi film yang luas
Sebagai tambahan untuk Face Detection pada fil, PowerShot S5 IS tetap menggunakan sebuah tombol film saja sehingga ara pengguna bisa secara langsung merekam tanpa harus mengganti dari mode pemotretan – cocok untuk menangkap saat-saat yang hanya terjadi sekali-kali. Sebuah mode Long Play secara signifikan menambah waktu perekaman untuk kualitas film VGA sementara mempertahankan frame rate 30 fps yang mulus. Perekaman suara stereo untuk file audio dan film sekarang bisa diatur sampai 64 tingkat, dan mengikut sertakan sebuah penyaring suara angin untuk kualitas suara yang bersih dan mengena. Fitur Photo In Movie yang mudah memungkinkan untuk melakukan pemotretan dengan resolusi foto selama perekaman film.

Pemotretan kreatif
Pilihan dari 22 mode pemotretan yang telah diperluas mulai dari otomatis sampai mode full Manual dan mengikut sertakan Aperture Priority, Shutter Speed Priority dan mode Custom yang ditentukan pengguna sendiri. Fungsi My Category memudahkan manajemen foto dengan secara otomatis mengkategorikan foto-foto – seperti Orang, Pemandangan, dan Events – tergantung dari deteksi wajah dan mode pemotretan yang dipilih.

PowerShot S5 IS memiliki keuntungan dari berbagai fitur yang akan sangat berguna bagi fotografer tingkat tinggi. Continuous Shooting AF yang baru mempertahankan fokus bagi subjek yang bergerak sambil memotret pada kecepatan 1.5 fps. Safety FE secara otomatis mengurangi aperture untuk menghindari highlight yang kabur sewaktu menggunakan flash dalam jarak dekat dengan subjek, sementara Safety MF membantu selama fokus secara manual dengan memberikan pengaturan yang bagus ke fokus. Kamera ini juga mempertahankan AEB (auto exposure bracketing) focus bracketing, dan sebuah tampilan histogram secara real-time untuk penilaian exposure yang lebih tepat.

Menggabungkan kemudahan pemakaian dengan fungsionalitas canggih, PowerShot S5 IS menawarkan kepada fotografer pemula maupun mahir sebuah pengalaman fotografik yang menyenangkan dan serba guna.

Pencetakan
PowerShot S5 IS menampilkan menu Print yang digunakan untuk akses secara cepat ke pilihan cetak. Dukungan Full PictBridge berarti pengguna bisa mencetak langsung ke printer PictBridge manapun yang kompatibel tanpa memerlukan PC. Sebuah tombol Print/Share memungkinkan pencetakan dengan sekali tekan dan upload yang gampang ke sistem Windows atau Mac.

Software
PowerShot S5 IS datang dengan Canon Software berikut :
ZoomBrowser EX 5.8 (Windows), ImageBrowser 5.8 (Macintosh) : untuk mengorganisir dan menyunting foto, film dan slideshow.
RemoteCapture Task 1.7 (Windows dan Macintosh) untuk pemotretan remote melalui PC.
PhotoStitch 3.1 : untuk menciptakan foto panorama dari beberaoa foto (Windows dan Macintosh)

Software-software tersebut mendukung Windows 2000 (SP4), XP (SP1-2), Vista dan Macintosh OS X v10.3-v10.4. Kamera ini mendukung PTP untuk transfer tanpa menggunakan driver ke Windows XP dan Macintosh OS X, bersama dengan MTP untuk transfer foto dan film ke Windows Vista.

Para pembeli kamera ini berhak untuk keanggotaan CANON iMAGE GATEWAY, tempat penampungan sebesar 100 MB untuk ‘galeri pribadi’ online untuk saling berbagi foto dengan keluarga dan teman.
Aksesoris
Aksesoris tambahan untuk PowerShot S5 IS meliputi :
Lensa Tele-converter 1.5x (TC-DC58B)
Lensa Wide-converter 0.75x (WC-DC58A)
Lens Adapter / Hood Set (LAH-DC20)
Lensa Close-Up 500D (58mm)
Canon Speedlite flash unit (220E, 430EX, 580EX)
High Power Flash HF-DC1
Soft Case (DCC-90)
Compact AC Power Adapter (CA-PS700)
Baterai dan Charger (CBK4-300)

by Duran Montana