Sabtu, Maret 08, 2008

Foto Jurnalistik, Gabungan Gambar dan Kata

BISAKAH Anda membayangkan halaman koran yang tanpa foto satu pun ? Memang seakan sudah menjadi tradisi bahwa foto harus ada di koran terutama di halaman pertamanya. Selain untuk mempercantik perwajahan, foto adalah sebuah bentuk berita tersendiri.

Berita tulis dan berita foto punya pijakan masing-masing dan bisa saling melengkapi. Berita tulis memberikan deskripsi verbal sementara foto memberikan deskripsi visual. Sebagai gambaran, untuk menceriterakan besarnya pengangguran dalam bentuk angka-angka, jelas berita tulis lebih tepat untuk dipakai. Tetapi untuk memberitakan seperti apa indahnya sebuah tempat atau secantik apa wajah seorang bintang sinetron, jelas foto yang lebih bisa berbicara daripada tulisan.

Walau begitu, foto jurnalistik usianya jauh lebih muda daripada jurnalistik tulis. Huruf sudah dikenal manusia ribuan tahun yang lalu sementara usia fotografi sendiri belum sampai 200 tahun. Di awal abad belasan, di Inggris sudah dikenal surat kabar. Tapi fotografi baru masuk surat kabar pada akhir abad 19.

Persoalan mengapa foto jurnalistik tertinggal dari jurnalistik tulis semata karena masalah teknologi. Setelah fotografi ditemukan pada pertengahan abad ke-19, teknologi cetak belum bisa membawa foto ke Koran. Yang terjadi adalah, foto sebuah kejadian dijadikan berita dengan cara digambar ulang ke sketsa. Sketsa inilah yang lalu dibawa ke mesin cetak. Surat kabar pertama yang memuat gambar sebagai berita adalah The Daily Graphic pada 16 April 1877. Gambar berita pertama itu tentang sebuah peristiwa kebakaran.

Sejalan dengan kemajuan teknologi cetak, akhirnya foto pun bias ditransfer ke media cetak massal. Foto pertama di surat kabar adalah foto tambang pengeboran minyak Shantytown yang muncul di surat kabar New York Daily Graphic di Amerika Serikat tanggal 4 Maret 1880. Foto itu adalah karya Henry J Newton.

Demikianlah, foto jurnalistik memang masih seumur jagung dalam dunia jurnalistik secara umum. Namun perkembangannya sangatlah cepat bahkan kini kita sudah memasuki fotografi digital. Dengan fotografi digital, teori-teori fotografi lama masih banyak yang berlaku. Cara pemotretan dan teori pencahayaan tidaklah berubah. Yang berubah hanyalah prosesnya.

Kalau dulu film perlu dicuci terlebih dahulu, lalu diperlukan proses mencetak untuk mendapatkan gambarnya, kini begitu tombol rana selesai dipijit selesailah fotonya. Kini tidak diperlukan lagi jasa pos atau kurir untuk mengirimkan foto. Seorang fotojurnalis bisa mengirim fotonya lewat telepon genggam yang dibawanya ke medan perang.

Sebagai gambaran, pada Piala Dunia Sepakbola 2002 lalu, begitu sebuah gol terlihat tercipta dari siaran langsung televisi, lima menit kemudian foto gol itu dalam bentuk data digital sudah sampai di meja redaktur foto Koran-koran di seluruh dunia.

Percepatan pemakaian fotografi sebagai elemen berita dipacu besar-besaran oleh terbitnya Majalah LIFE di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Dunia foto jurnalistik bisa dikatakan berhutang besar kepada Wilson Hick yang menjadi redaktur foto pertama majalah itu selama 20 tahun lamanya. Hick adalah orang yang dianggap sebagai perintis kemajuan foto jurnalistik di dunia ini.

Wilson Hicks memang tidak pernah memotret tapi lewat ketajaman intuisinya dan kepemimpinannya lahirlah fotografer-fotografer kelas dunia seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa dan beberapa lagi. Dari Hicks pulalah lahir dasar-dasar foto jurnalistik.

Apa itu foto jurnalistik ?

Wilson Hicks menjawab dengan teorinya yang terkenal: Foto jurnalistik adalah gambar dan kata. ..

Kata dalam foto jurnalistik adalah teks yang menyertai sebuah foto. Kalau berita tulis dituntut untuk memenuhi kaidah 5W + 1 H (What Where When Who Why dan How), demikian pula foto jurnalistik. Karena tidak bisa keenam elemen itu ada dalam gambar sekaligus, teks foto diperlukan untuk melengkapinya. Seringkali, tanpa teks foto, sebuah foto jurnalistik menjadi tidak berguna sama sekali.

Sekali lagi, penggabungan dua media komunikasi visual dan verbal inilah yang disebut sebagai foto jurnalistik. Suatu ketika kita membaca sebuah surat kabar, yang pertama kita lakukan adalah melihat foto yang menarik, membaca teksnya, kemudian kembali melihat fotonya. Foto halaman pertama sebuah surat kabar adalah elemen terpenting untuk menjual edisi surat kabar di hari itu

.

Kelebihan Foto

Seperti sudah disinggung di atas, pada hakekatnya foto punya kelebihan dibandingkan media oral. Selain mudah diingat, foto juga punya efek lain yang timbul jika kita melihatnya. Foto bisa menimbulkan efek bayangan yang lain tergantung dari siapa, pekerjaan, pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan pengalaman dari orang yang melihatnya.

Karena itulah sebuah foto yang tidak menarik bagi seseorang pembaca, mungkin justru sangat menarik bagi pembaca lain. Sebagai contoh, foto olahraga American Football yang sangat bagus mungkin sangat menarik bagi pembaca di Amerika Serikat. Tapi bagi sebagian besar orang Indonesia, foto ini dilirik pun mungkin tidak.

Selain itu, untuk membuat foto yang menarik, kita harus membuat orang merasa mendapatkan sesuatu yang baru dari foto yang dilihatnya. Foto pembukaan sebuah seminar umumnya adalah foto orang memukul gong. Maka, di Indonesia, foto orang memukul gong sama sekali sudah tidak menarik lagi sebesar apa pun seminar yang menyertainya.

Karena itu, ada sebuah pedoman penting yang harus diingat saat membuat sebuah foto jurnalistik. Pedoman itu tertuang dalam ucapan fotografer Majalah LIFE Co Rentmeester yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970-an. Pada suatu ceramahnya, Rentmeester berkata, Buatlah foto yang lain daripada orang lain.

Petunjuk Rentmeester itu sangat tepat, apalagi untuk saat ini dimana foto jurnalis di Indonesia sudah sangatlah banyak. Pemilik kamera juga sudah tidak terhitung banyaknya. Kalau kita membuat foto yang sama dengan orang lain, sama sudut pengambilannya dan sama pula jenis lensanya, maka foto kita bisa dikatakan datar dan tidak menarik.

Perlu bagi seorang foto jurnalis untuk banyak-banyak melihat karya orang lain sebagai perbandingan dalam berkarya. Melihat karya orang lain, terutama melihat karya-karya yanag menang dalam sebuah lomba foto, kadang-kadang disalahartikan sebagai cari bahan untuk meniru. Padahal tidaklah demikian.

Melihat karya orang lain membuat kita punya gambaran kelas persaingan saat ini, juga punya gambaran umum akan baik buruk sebuah foto secara utuh. Pada orang yang berpikir terbatas, melihat karya orang lain memang membuatnya meniru angle dan gaya. Kreativitas sangat dituntut dalam kerja foto jurnalistik.

Untuk memberikan gambaran tentang kreativitas, mungkin kita masih ingat ceritera tentang pengeliling dunia Columbus yang ditantang untuk mendirikan sebuah telur ayam di atas meja. Saat Columbus memecahkan sedikit kulit telur untuk bisa membuatnya berdiri, orang lalu berkata, Ah, saya pun bisa.

Padahal, sebelum Columbus memecahkan telur itu, siapa pun mungkin tidak berpikir sampai ke situ. Demikian pula dalam fotografi. Kalau kita melihat sebuah angle foto yang bagus, kita mungkin berpikir, Apa sulitnya membuat yang begitu. . Padahal, kalau belum ada foto itu, belum tentu kita bisa membuat yang demikian.

Sementara itu, selain definisi yang diberikan Hicks di atas, dalam definisi yang lebih membumi , foto jurnalistik adalah foto apa pun yang pembuatan dan pemakaiannya melewati proses jurnalistik.

Peran Fotografi dalam Surat Kabar


Seorang pembaca bertanya, kalau pepatah yang mengatakan “Sebuah foto bernilai seperti seribu kata” itu benar, mengapa berita-berita di koran tidak diganti foto saja agar ringkas? Sebaliknya, ada pembaca lain yang bertanya, bolehkah sebuah surat kabar terbit tanpa sebuah foto pun?

Pertanyaan pembaca di atas amat menarik sebab selama ini telah terjadi banyak salah paham terhadap fungsi dan peran sebuah foto. Kalimat yang mengatakan bahwa sebuah foto senilai seribu kata itu sebenarnya cuma kiasan, namun sering disalahartikan orang karena dianggap sebagai “peribahasa” panutan. Dalam anggapan yang salah itu, sebuah foto dianggap selalu bisa menggantikan seribu kata-kata. Padahal tidak sama sekali.

Kenyataannya, foto memang mempunyai kelebihan dan keterbatasan tersendiri. Kalau berita secara umum harus mengandung 5W dan 1 H (what, who, when, where, why dan how, atau apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana), sebuah foto sulit mengandung keenam hal itu sekaligus.

Sebuah berita bisa mengandung 5W dan 1H karena ia terdiri dari banyak kalimat. Sedangkan sebuah foto sulit mencakup keenam hal itu dalam sebuah media dua dimensi yang dimilikinya. Seorang fotografer pemula, dengan dibuai “peribahasa” di atas sering memaksakan agar foto karyanya mengandung keenam hal sekaligus, sehingga justru menghasilkan karya yang “kusut”.

Sebuah foto tidak selalu bisa menerangkan di mana kejadian itu terjadi, siapa yang ada di dalam foto, mengapa adegan dalam foto terjadi, bagaimana adegan dalam foto terjadi atau kapan kejadian itu terjadi, kalau tidak dilengkapi teks foto. Ini kelemahan sebuah foto.

Sebaliknya, foto mempunyai suatu dimensi yang tidak bisa dimiliki kata-kata, yaitu dimensi visual. Untuk menceriterakan wajah seorang wanita yang cantik, walau berjuta kata telah Anda gunakan, belum tentu orang lain bisa segera membayangkan seperti apa wajah wanita yang Anda ceriterakan itu. Namun dengan selembar foto, selesailah sudah penjelasan Anda. Untuk hal ini, betul bahwa sebuah foto menggantikan seribu kata.

Jadi harus dibedakan antara keunggulan sebuah foto dari sisi visual dan keterbatasan foto dari segi kemampuan naratifnya. Dalam kaitannya dengan foto di surat kabar, foto sebagai berita tidaklah bisa berdiri sendiri. Ia selalu membutuhkan keterangan, atau minimal judul foto.

Dalam konteks foto sebagai berita, yaitu di surat kabar, sebuah foto bisa menjadi elemen utama. Di sini yang terjadi adalah tanpa sebuah foto, sebuah berita menjadi tidak berarti. Contoh untuk hal ini adalah berita pencarian koruptor oleh polisi. Kalau foto sang penjahat tidak ikut dimuat, berita itu relatif tidak ada gunanya sebab kekurangan informasi visual tentang bagaimana wajah penjahat yang dicari itu.

Sebuah foto dalam media cetak juga bisa menguatkan isi sebuah berita. Misalnya berita yang dimuat adalah berita tentang kebakaran pasar yang dahsyat. Dengan menambahkan sebuah foto suasana reruntuhan pasar, pembaca bisa ikut membayangkan betapa dahsyatnya api yang berkobar. Gambaran visual memberikan dimensi tertentu pada berita yang dibuat untuk memancing emosi orang.

Sebuah foto, dengan dilengkapi keterangan atau caption, juga bisa mandiri sebagai sebuah berita. Contoh foto berita misalnya pemberitahuan bahwa sebuah foto memenangkan lomba tertentu.

Namun sering juga sebuah foto merupakan “sekadar” elemen pemanis dalam tata letak surat kabar. Bisakah Anda membayangkan halaman pertama surat tanpa sebuah foto pun? Pasti membosankan sekali menatap halaman yang melulu berisi huruf. Di sini foto berfungsi sebagai elemen estetis yang kuran maupun formatnya direncanakan dengan baik.

Sebuah surat kabar boleh saja tidak memuat satu foto pun, namun pasti tidak ada penerbit yang mau berbuat demikian karena koran itu pasti tidak akan dibeli orang. Terus terang, foto sering kali merupakan elemen penarik minat orang pada halaman satu.

Seperti telah disinggung, teks dalam sebuah foto jurnalistik adalah elemen yang membuat sebuah foto lengkap. Maka, peran teks ini tidaklah main-main. Judul foto, yaitu bagian pertama dari teks yang biasanya dicetak tebal, haruslah memberikan gambaran akan isi foto. Judul hendaklah tidak mengulangi info yang telah dilihat oleh mata.

Sebagai contoh, misalnya ada foto orang sedang bersalaman. Janganlah judul foto itu Bersalaman . Ini nyinyir kata orang. Judul yang lebih baik mungkin adalah Pertemuan dua tokoh , atau Usai peresmian pabrik .


Pemikiran tentang Fotografi Suratkabar


Dalam persuratkabaran, fotografi bisa dibagi dalam dua pemikiran. Pemikiran pertama adalah pemikiran yang berhubungan lay out, dan pemikiran kedua adalah pemikiran yang berhubungan dengan kerja jurnalistik itu sendiri.

Pada perwajahan, redaktur fotografi tidak bisa terlalu kaku untuk memaksakan pemuatan sebuah foto. Harus ada tawar-menawar dengan redaktur artistik untuk mendapatkan penampilan halaman terbaik, terutama untuk halaman pertama. Dengan tidak mengubah isi dan makna sebuah foto, seorang redaktur foto sebaiknya punya beberapa stok foto dan format untuk sebuah kejadian. Memang ada kalanya sang redaktur foto hanya punya satu saja foto untuk sebuah kejadian. Maka untuk keadaan seperti ini, redaktur artistik tidak bisa menawar lagi tapi harus merancang layout dengan satu foto yang ada itu.

Sebagai contoh, sebuah adegan sebaiknya memiliki format vertikal dan format horisontalnya. Stok foto wajah orang sebaiknya punya tiga arah memandang: kiri, kanan dan lurus ke depan (netral). Foto wajah yang diletakkan di kanan halaman sebaiknya menghadapi ke kiri, demikian pula sebaliknya.

Redaktur fotografi juga harus punya stok foto yang tidak basi oleh waktu. Sewaktu-waktu redaktur artistik meminta foto, redaktur fotografi harus bisa menyediakannya. Sering terjadi ada perubahan layout secara mendadak, dan sebuah foto dibutuhkan untuk membuat penampilan sebuah halaman menjadi lebih baik. Sebuah stopper atau pengisi halaman tidaklah harus berita. Bisa juga foto.


Foto sebagai Laporan

Sesuai dengan namanya, foto jurnalistik adalah foto yang “melaporkan” sesuatu. Jurnal adalah laporan, dan jusrnalistik adalah “sesuatu yang bersifat laporan”. Maka, foto apa pun yang melaporkan sesuatu bisa disebut sebagai foto jurnalistik.

Sebuah foto piknik buatan tahun 1970-an yang biasa-biasa saja, dibuat orang sangat biasa, mendadak pada tahun 1999 menjadi foto jurnalistik yang sangat menggigit. Masalahnya, dalam foto itu terlihat Gus Dur sedang memangku anak-anaknya.

Atau juga sebuah foto orang menambang emas yang biasa-biasa saja, sempat menjadi foto mahal karena penambangan emas itu di Busang, tempat yang sempat menghebohkan dunia internasional itu.

Seorang rekan fotografer juga mendadak dicari-cari orang karena dialah satu-satunya orang yang punya foto Zarima saat masih menjadi fotomodel pemula.

Foto piknik di cerita di atas baru menjadi foto jurnalistik setelah dimuat di sebuah media cetak. Kalau dia tetap tersimpan di laci, ia tetaplah sebuah foto piknik biasa.

Kategori Foto Jurnalistik


Dalam sebuah media cetak, foto terbagi dalam beberapa kategori yang semuanya memang foto jurnalistik.:

Pertama, foto hard news. Foto jenis ini misalnya foto bentrokan mahasiswa dengan aparat di depan DPR, atau foto Gunung Merapi meletus, atau foto pengungsi Sampi mendarat di Surabaya. Foto jenis ini sebaiknya dimuat di media cetak sesegera mungkin. Seperti juga berita, foto jenis ini punya masa pakai terbatas, bisa basi. Biasanya, foto jenis inilah yang disebut Foto Jurnalistik pada lomba-lomba foto.

Foto hard news ini punya otoritas sendiri, punya kekuatan sama dengan tulisan hard news yang menyertainya.

Kategori kedua adalah foto headshot dan portrait, yaitu foto orang untuk menguatkan berita atau untuk memberitahu pembaca wajah seseorang. Dengan tulisan, kita tidak mungkin menggambarkan wajah orang walau dengan sejuta kata pun. Namun dengan sebuah foto, wajah orang mudah diberitakan.

Kategori ketiga adalah foto features. Jenis ini adalah foto yang tidak basi oleh waktu. Pemuatan foto features ini bisa kapan-kapan tergantung sang media. Foto tipe ini misalnya foto-foto human interest tentang perempuan tua yang membawa kayu bakar, tukang becak yang tidur pulas dll.

Kategori keempat adalah foto ilustrasi. Foto jenis ini adalah foto yang paling rendah kelasnya dalam foto jurnalistik. Kalau perlu, tidak jadi dimuat juga tidak apa-apa. Jenis ini misalnya foto orang main Play Station untuk melengkapi tulisan tentang wabah Play Station. Kalau saja sang foto tidak jadi dimuat, sang tulisan tetap bisa berdiri sendiri. Sebuah foto ilustrasi sering diganti gambar ilustrasi yang dibuat ilustrator.

Oleh Arbain Rambey
fotografer Harian KOMPAS
(Quoted from fotografer.net)

Tidak ada komentar: